Sejarah Banda Aceh

Sejarah Banda Aceh, Kota Berumur 817 Tahun yang Pernah Gemilang pada Masa Kesultanan Aceh Darussalam

Banda Aceh merupakan ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Provinsi NAD merupakan provinsi paling utara di pulau Sumatera.

Banda Aceh memiliki luas 61, 36 km2. Kota Banda Aceh berbatasan dengan sejumlah wilayah, sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan di sebelah timur berbatasan dengan Aceh Besar.

Kota Banda Aceh dibangun oleh Sultan Johan Syah pada Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Saat ini, Kota Banda Aceh berusia 817 tahun.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Banda Aceh pada 2020 sebanyak 252.899 jiwa.

Sejarah Banda Aceh
Sebagai ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam, Banda Aceh berdiri pada abad ke-14.

Kesultanan Aceh Darussalam dibangun atas puing-puing kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada sebelumnya, seperti kerajaan Indra Purba, Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura.

Dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh bahwa Kesultanan Aceh beribu kota di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang.

Kemunculan Kesultanan Aceh tersebut tidak terlepas dari keberadaan Kerajaan Islam Lamuri.

Pada abad ke-15, singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam. Lokasi Meukuta Alam berada di wilayah Banda Aceh.

Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, ia meninggal pada 12 Dzulhijjah 936 Hijriah atau 7 Agustus 1530 Masehi... 

Meskipun, Sultan Ali Mughayat Syah memerintah dalam waktu singkat, tetapi ia berhasil membangun peradaban Islam di Asia Tenggara
Saat itu, Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan.

Ibu kota ini yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perampokan yang dilakukan armada Portugis.

Pada masa Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh tumbuh kembali sebagai pusat perdagangan

Saat itu, Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan. Ibu kota ini yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perampokan yang dilakukan armada Portugis.

Pada masa Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh tumbuh kembali sebagai pusat perdagangan maritim, khususnya komoditas lada yang permintaannya sangat tinggi di Eropa. 

Iskandar Muda menjadikan Banda Aceh sebagai taman dunia, yang dimulai dari komplek istana. Komplek Istana Kesultanan Aceh dinamai Darud Dunya (Taman Dunia).

Pada masa agresi Belanda yang kedua, terjadi evakuasi besar-besaran pasukan Aceh keluar dari Banda Aceh. Situasi ini dirayakan oleh Van Swieten yang memproklamirkan jatuhnya Kesultanan Aceh, ia mengubah nama Banda Aceh menjadi Kutaraja.

Setelah masuk dalam pengakuan Pemerintah Republik indonesia, pada 28 Desember 1962 nama kota kembali menjadi Banda Aceh.

Ketetapan ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintah Umum dan otonomi Daerah Tanggal 9 Mei 1963 No des 52/1/43-43.

Pada 26 Desember 2004, Banda Aceh dilanda gelombang tsunami yang diakibatkan gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indoensia.

Bencana menelan ratusan ribu jiwa dan sebanyak 60% bangunan hancur.