Ketika Wali Besar Sedang Bercanda

Habib Ahmad Muhdhar Sahib Quwaireh merupakan waliyullah besar Tarim. Beliau ayah kandung Habib Muhammad Muhdhar Bondowoso. Selain keramat, beliau juga suka bercanda. Kisah saat beliau bercanda, ditulis Habib Ali Bungur dalam kitabnya  berjudul Taajul A’ras. 

Berikut kisahnya... 
Syahdan, Habib Ahmad Muhdhar berkunjung ke Desa Taris Hadhramaut, bersama putranya yang masih bayi, Habib Muhammad Muhdhar (Sahib Bondowoso). Sesampainya di Taris, Habib Muhammad sakit keras, suhu badannya panas tinggi. 

Ketika keadaan sang anak makin parah, Habib Ahmad pergi berziarah ke makam Habib Hasan bin Shalih Al-Bahar, seorang wali besar yang disemayamkan di Desa Taris. Beliau lalu berkata sambil agak sedikit mengancam:

“Bib… anakku jatuh sakit. Sedangkan aku sekarang ada di daerah kekuasaanmu. Ingat ya, Bib. Kalau sampai terjadi apa-apa sama anakku, aku bakal keluar dari golongan Habaib dan bergabung dengan golongan Wahabi.. !”

Setelah berkata demikian, Habib Ahmad pulang dan menjumpai anak beliau sudah sembuh dan kembali sehat wal afiat seperti sedia kala. 

Meski terkesan candaan biasa. Namun, sesungguhnya, itu bukan candaan biasa. Tapi menunjukan betapa kaum khawarij wahabi memang bukan ajaran Salaf. Bukan penerus para Salafushaleh. Wahabi telah jauh dari ajaran para salaf.

Khawarij wahabi menggunakan kata "salafi" untuk menyamarkan identitas diri dan agar terlihat seperti para salaf. Padahal tidak. Buktinya, tak ada satupun Habaib Aswaja yang setuju dengan konsep Wahabi. Bahkan cenderung menghindari. 

Karena itu, mulai saat ini, jangan sebut mereka dengan "salafi", tapi cukup khawarij wahabi. Sebab, kaum salaf pasti pro shalawatan, pro tahlilan, pro ziarah kubur, dan pro mauludan, sementara khawarij wahabi tidak. 

Kiai Faqih sadar gerakan Wahabi, dan selalu gelisah untuk melawan aliran Wahabi yang membahayakan umat Islam sedunia. Maka, tahun 1922, Kiai Faqih menulis kitab ihwal kritik keras terhadap aliran Wahabi. Kritik ini dilakukan dua tahun sebelum Ibnu Saud menggulingkan Syarif Husein dari kursi kekuasaan tahun 1924. Ibnu Saud menggunakan ajaran Wahabi untuk menguatkan posisi kekuasaannya.

Kritik Kiai Faqih ini juga dilakukan sebelum NU berdiri, tahun 1926. Para kiai pendiri NU sebenarnya sudah melakukan gerakan luar biasa dalam menghadang Wahabi, sebagaimana Kiai Mas Alwi Abdul Aziz yang melakukan riset ke Eropa untuk memahami gejolak moderniasi di dunia Islam.

Kitab yang ditulis Kiai Faqih itu berjudul an-Nushush al-Islamiyyah fi Raddi ‘ala al-Madzahib al-Wahhabiyyah (Sebuah Risalah dalam menolak mazhab Wahabi)  yang semula ingin diberi judul, ar-Risalah bi Taqlid al-Wahhabiyah li an-Nashara al-Brustantiyah li Ajli Mahw al-Madzhib as-Sunniyyah (Sebuah Risalah yang Mengungkap Taklid Golongan Wahabi kepada Kristen Protestan dalam Menghapus Madzhab Sunni). Kitab ini dengan keras menolak Wahabi sebagai madzhab dengan membongkar penyimpangannya sedari Ibn Taimiyah, hingga Abdul Qadir at-Tilimsani.

Kritik dalam kitab ini sangat keras. Apalagi kitab ini diterbitkan oleh penerbit Darul Kutub al-Islamiyah Mesir pada tahun 1922. Publik dunia gempar, karena ada orang Indonesia yang sangat berani melawan Wahabi.

Mari perbanyak baca sholawat, bersholawat sepanjang hayat: 
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد